Thursday, July 30, 2009

ALQUR’AN BUKAN MAKHLUK


Oleh :Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Al Qur’an Kalam Allah (Perkataan Allah), Bukan Makhluk

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab al ‘Aqidah al Wasithiyah:

Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa alQur’an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al Qur’an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al Qur’an ini secara hakiki. Sesungguhnya al Qur’an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al Qur’an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, dengan itu al Qur’an tetap tidak keluar dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya.
Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang pertama kali mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al Qur’an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpa huruf. (Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan).

Senada dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu perkataan Imam Thahawi rahimahullah. Beliau berkata:

Sesungguhnya al Qur’an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya. Allah telah turunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Kaum Mukminin mempercayai al Qur’an benar-benar demikian keadaannya, dan mereka meyakini bahwa al Qur’an kalam Allah yang sebenarnya; ia bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barangsiapa yang mendengar al Qur’an, lalu ia beranggapan bahwa al Qur’an adalah perkataan manusia, maka ia kafir; Allah mencelanya, mencacatnya dan mengancamnya dengan Neraka Saqar, karena Allah Ta’ala berfirman:

ayat16.jpg

(Orang kafir itu berkata):”Al Qur’an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. (QS. al Muddatstsir:25)

Kita memahami dan kita meyakini bahwa, al Qur’an itu adalah perkataan Pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia. (Lihat Syarh al ‘Aqidah ath Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al Izz al Hanafi;Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal Ulama; Takhrij:Syaikh al Albani).

Pensyarah kitab al ‘Aqidah ath Thahawiyah, yaitu Imam Ibnu Abi al Izz al Hanafi rahimahullah, terhadap apa yang dikatakan Imam Thahawi rahimahullah, ia mengatakan: “Ini merupakan kaidah dan pokok yang mulia dan agung di antara pokok-pokok agama. Banyak kelompok manusia yang tersesat dalam masalah ini. Apa yang dikatakan oleh Imam Thahawi ini merupakan kebenaran yang telah dibuktikan oleh dalil-dalil al Qur’an dan as Sunnah bagi siapa saja yang merenungkannya. Juga telah disaksikan oleh fitrah-fitrah sehat, fitrah yang belum mengalami perubahan akibat syubhat-syubhat, keragu-raguan dan pendapat-pendapat batil.” (Lihat Syarh al ‘Aqidah ath Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al Izz al Hanafi;Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal Ulama; Takhrij:Syaikh al Albani). Demikianlah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Pandangan Kelompok Ahli Bid’ah Tentang Al Qur’an dan Kalam Allah

Di bawah ini pemaparan Syaikh Shalih al Fauzan hafidhahullah secara garis besar (diterjemahkan secara rinngkas dan bebas, Pen) tentang beberapa perkataan kelompok ahli bid’ah mengenai al Qur’an dan kalam Allah. Beliau menyebutkan sebagai berikut. (Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm 136-139).

Pertama. Perkataan Jahmiyah

Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkan suatu perkataan sebagai perkataan Allah-menurut mereka-adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah lah yang telah menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya.

Perkataan Jahmiyah ini batil, bertentangan dengan dalil-dalil sam’i (al Qur’an dan as Sunnah) maupun dalil-dalil akal. Juga bertentangan dengan perkataan para salaf dan imam-imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya tidaklah masuk akal seseorang disebut sebagai orang yang berkata, kecuali jika perkataan itu benar-benar ada pada dirinya. Bagaimana mungkin Allah disebut telah berkata, padahal yang berkata adalah selain Allah? Bagaimana mungkin disebut perkataan Allah, padahal ia adalah perkataan selain-Nya?

Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas, bahwa “dari Allah al Qur’an bermula dan kepada-Nya ia kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al Qur’an ini secara hakiki. Sesungguhnya al Qur’an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya”.

Maksud Syaikhul Islam dengan perkataan ini adalah, untuk membantah oarng-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa al Qur’an bermula dari selain Allah, dan bahwa Allah tidak berbicara dengan al Qur’an itu secara hakiki, tetapi majaz. Al Qur’an (menurut mereka) adalah perkataan selain Allah yang disandarkan sebagai perkataan Allah karena Dialah Penciptanya.

Kedua. Perkataan Kullabiyah, para pengikut ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab

Mereka beranggapan bahwa al Qur’an merupakan hikayat dari kalam Allah. Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma’na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah. Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah. Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk. Tetapi lafadz-lafadz yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk. Lafadz-lafadz ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.

Ketiga. Perkataan kaum Asy’ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al Hasan al Asy’ari rahimahullah

Mereka mengatakan bahwa al Qur’an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma’na yang ada pada dzat Allah. Ma’na ini bukan makhluk. Adapun lafadz-lafadz yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah. Lafadz-lafadz ini adalah makhluk. Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.

Sebagian ulama mengatakan, perselisihan pendapat antara Asy’ariyah dengan Kullabiyah hanyalah perselisihan secara redaksional saja. Sebenarnya tidak ada perselisihan di dalamnya. Sebab, baik Asy’ariyah maupun Kullabiyah sama-sama mengatakan bahwa al Qur’an terdiri dari dua macam. Yaitu, terdiri dari lafadz dan makna. Lafadznya adalah makhluk, yakni lafadz-lafadz yang ada dan dibaca ini. Sedangkan maknanya bersifat qadim (sejak dahulu); ia ada pada Dzat Allah. Ia merupakan makna yang satu, tidak dapat terbagi-bagi dan tidak dapat berbilang. Ini bukan makhluk.

Inti perkataan Asy’ariyah dan perkataan Kullabiyah, andaikata tidak dapat dikatakan sama, maka paling tidak saling berdekatan.

Kedua pendapat ini sama-sama batil. Sebab al Qur’an tidak dapat dikatakan hikayat dari kalam Allah seperti perkataan Kullabiyah, dan tidak dapat pula dikatakan ungkapan dari kalam Allah seperti perkataan Asy’ariyah. Bahkan al Qur’an adalah kalam Allah itu sendiri, baik lafadz maupun maknanya, dimanapun didapatkan, baik di hafal dalam dada-dada manusia maupun ditulis dalam mushaf-mushaf. Al Qur’an tetap merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan makhluk.

Keempat. Perkataan Mu’tazilah

Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafadz saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.

Pendapat Mu’tazilah ini merupakan kebalikan dari pendapat Asy’ariyah dan Kullabiyah yang mengatakan, bahwa kalam Allah adalah makna saja tanpa huruf. Demikian secara ringkas pemaparan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

KESIMPULAN

Semua pernyataan kelompok di atas adalah batil. Yang benar ialah pernyataan Ahlus Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Thahawi di atas. Salah satu dalilnya, ialah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al Fauzan, yaitu firman Allah:

ayat26.jpg

Dan jika seseorang dari orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.” (QS. at Taubah:6)

Maksud mendengar pada ayat ini, yaitu mendengar melalui bacan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang kedudukannya sebagai penyampai. Sedangkan bacaan al Qur’an dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang didengar itu tetap disebut kalam Allah. Maka hal ini membuktikan bahwa perkataan hanyalah dinisbatkan kepada yang mengucapkannya pertama kali sejak semula mengatakannya. Bukan dinisbatkan kepada penyampainya. (Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm 138).

Imam Syafi’i rahimahullah juga mengatakan bahwa al Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al Qur’an makhluk, maka ia kafir. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal sama dalam Ushulus Sunnah. (Lihat catatan kaki dari kitab Ushulus Sunnah, Imam Ahmad dari riwayat ‘Abdus bin Malik al Aththar, Syarh dan Ta’liq: al Walid bin Muhammad Nabih bin Saif an Nashr. Taqdim dan Ta’liq:Syaikh Muhammad bin ‘Id al Abbasi).

Demikianlah madzhab Ahlus Sunnah tentang al Qur’an dan tentang kalam Allah. Wallahu Waliyyut Taufiq.

Di Kutip dari Majalah As Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M

Friday, July 24, 2009

China - anything is possible [pics]

Roadside fishing
Roadside fishing


Driver without cabin
Driver without cabin


Intimacy on scooter
Intimacy on scooter


Parallel Parking
Parallel Parking


Scooter-power with a horse-power
Scooter-power with a horse-power


Alternate seat on scooter
Alternate seat on scooter


Busy with the Nature call
Busy with the Nature call


Car without tires
Car without tires


Dead pigs
Dead pigs


Cooking on showel
Cooking on showel


Dentist
Dentist


Broad view from the back-seat
Seats on the scooter


Tire-less police cars
Tire-less police cars


Vehicle on 3-tires
Vehicle going on without tire


Primitive kind of jolly ride wheel
Ancient jolly ride


Full use of scrap vehicle
Full use of scrap vehicle


Creative way to watch at the computer
Lie down and watch monitor - creative


Bus seems to be speedy
Speedy buses


Anytime, anywhere bedtime
Sleep on scooter


Hawaiian effect - cool and swinging
sleep under the truck


Trash can could be a nice bathroom
pee in the trash


Robust vehicle
tank vehicle for momma


Creative way to tie radio
Walkman


Mountain toilet
bathroom in the jungle


Is that a truck or a motorcycle
truck or bike or a hybrid


Cars can have same license plate as long they’ve different color
same license plate cars


What a balance
vehicles ladden, could topple, defying gravity


What a balance
vehicles ladden, could topple, defying gravity


Scattoo (scalap tattoo)
writing on the head

Tuesday, July 21, 2009

KISAH MUSLIMAH MARWA SHERBINI DIBUNUH DI GERMANY


Sibuk benar pihak media satu dunia meraih keuntungan di atas kematian Micheal Jackson (MJ). Manakan tidak, majlis peringatan MJ di Los Angeles baru-baru sahaja telah menarik minat dan tontonan oleh lebih 2 billion manusia. Rancangan tersebut turut mendapat pehratian jutaan umat Islam yang masih lagi mencari-cari tanda keislaman MJ di majlis tersebut, namun rasanya mereka hampa, tiada sebarang ciri Islam di majlis tersebut walau satu peratus.

Berita kematian MJ berterusan mendapat liputan media, amat meluas dan masih mempunyai magnet untuk menarik pembaca dan peminatnya di serata dunia. Media seperti biasa, berlumba-lumba mencari keuntungan dari kematian dan kehidupan seseorang. Kini, wujud berita baru hasil pendedahan kakaknya yang menyatakan MJ dibunuh melalui satu konspirasi individu di sekelilingnya.
Pada masa yang sama, saya lebih amat tersentak lagi marah dengan pembunuhan Dr Marwa el-Sherbini. Si pembunuh manusia celaka bernama Alex W, penganggur dan penyokong parti pro Nazi German, dia yang berasal dari Russia sebelum itu didapati bersalah mengucapkan kata-kata kurang sopan serta maki hamun kepada Dr Marwa di khalayak ramai pada bulan November yang lalu. Si celaka menjerit melolong kepada Marwa, melaungkan kata "terrorist" dan "Islamist whore" sewaktu berada di Dresden park. Ketika itu, Marwa meminta izin untuk meletakkan anaknya di buaian di taman berkenaan, tetapi si celaka tersebut tidak membenarkan, lalu pertengkaran terjadi.

Si celaka itu diheret oleh Marwa ke mahkamah dan dijatuhkan hukuman Euro 780. Namun si celaka ini membuat rayuan yang menyebabkan ia bertemu wajah sekali lagi dengan Marwa di mahkamah. Dengan pisau di tangannya si celaka ini menyerbu Marwa yang sedang mengandung tiga bulan lalu menikamnya sebanyak 18 kali di dalam mahkamah di hadapan hakim!.Peristiwa ini berlaku pada 1 Julai 2009 yang llau.

Satu susana yang tidak masuk dek aqal, bagaimana boleh si celaka ini membawa pisau di dalam sebuah mahkamah? Dan bagaimana ia boleh menikam sebanyak 18 kali tanpa gangguan segera dari pengawal dan orang sekelilingnya. Suami Marwa tangkas menerpa untuk membantu namun rupanya mereka terlupa sedang berada di ‘medan perang'. Suaminya ditembak oleh pihak polis semasa ingin membantu isterinya, sedangkan si celaka pembunuh dibiar hidup. Polis menggunakan alasan murahan apabila berkata ‘tersilap sangka', mereka sangkakan suaminya adalah pembunuh. Syeikh al-Azhar Syeikh Muhammad Tantawy mendesak pihak Germany untuk mengenakan tindakan berat kepada si pembunuh. Namun sejauh manakah seriusnya mahkamah akan bertindak terhadap si pembunuh, tidak dapat dipastikan?

Adalah wajar jika dapat pelajar Islam di Germany bergabung tenaga dengan umat Islam di tempat masing-masing menghantar memorandum mendesak tindakan keras ke atas si pembunuh.!

Malangnya, berita ini langusng tidak dihebahkan dan disenyapkan dari media barat khususnya. BBC senyap sunyi, sedangkan berita mahkamah Dubai yang menjatuhakn hukuman kepada dua warga British yang mengadakan hubungan seks terbuka di pantai Dubai, dihebohkan, mahkamah dubai dikritik seolah melakukan satu tindakan jahat.

Namun, kisah wanita Islam yang mengandung di tikam di dalam sebuah mahkamah di hadapan hakim di sebuah Negara yang membangun kononnya tidak langsung diambil endah. Teringat saya kepada pengalaman bertamu di beberapa daerah di Germany, tidak disangka begitu hodoh wajah sebenar negara tersebut, lebih khusus sebenarnya kepada bangsa Rusia, yang mana warga Rusia sememangnya terkenal sebagai amat bersifat perkauman lagi berjiwa ganas dengan selainnya. Kepada para pelajar Malaysia di Germany dan Russia, jagalah diri anda sebaik-baiknya.

Thursday, July 2, 2009

Air mata malam pertama


Air mata malam pertama

Hatiku bercampur baur antara kegembiraan, kesedihan dan kehibaan. Terlalu sukar untuk kugambarkan perasaan hatiku tatkala ini . Sanak saudara duduk mengelilingiku sambil memerhatikan gerak geri seorang lelaki yang berhadapan dengan bapaku serta tuan imam.

Hari ini adalah hari yang cukup bermakna bagi diriku. Aku akan diijab kabulkan dengan seorang lelaki yang tidak pernak kukenali pilihan keluarga. Aku pasrah.

Semoga dengan pilihan keluarga ini beserta dengan rahmat Tuhan. Bakal suamiku itu kelihatan tenang mengadap bapaku, bakal bapa mentuanya. Mereka berkata sesuatu yang aku tidak dapat mendengar butir bicaranya. Kemudian beberapa orang mengangguk-angguk. Serentak dengan itu, para hadirin mengangkat tangan mengaminkan doa yang dibacakan lelaki itu.

“Ana dah jadi isteri! ” Bisik sepupuku sewaktu aku menadah tangan. Tidak semena-mena beberapa titis air mata gugur keribaanku. Terselit juga hiba walaupun aku amat gembira. Hiba oleh kerana aku sudah menjadi tanggungjawab suamiku. Keluarga sudah melepaskan tanggungjawab mereka kepada suamiku tatkala ijab kabul.

“Ya Allah! Bahagiakanlah hidup kami. Kurniakanlah kami zuriat-zuriat yang menjadi cahaya mata dan penyeri hidup kami nanti.”Doaku perlahan.

Aku bertafakur sejenak. Memikirkan statusku sekarang. Aku sudah bergelar isteri. Sudah tentu banyak tanggungjawab yang perlu aku tunaikan pada suamiku dan pada keluarga yang aku dan suamiku bina nanti.

“Mampukah aku memikul tanggungjawab ini nanti”Tiba-tiba sahaja soalan itu berdetik di hati.

Kadang-kadang aku rasakan seolah-olah aku tidak dapat melaksanakan tanggungjawab seorang isteri terhadap suami.

“Assalamualaikum!” Sapa suatu suara yang mematikan tafakur tadi. Baru aku perasan, seorang lelaki berdiri betul-betul di hadapanku. Aku masih tidak mampu untuk mendongak, melihat wajahnya itu. Aku berteleku melihat kakinya.

Sanak saudara yang tadi bersama-samaku, kini membukakan ruang buat lelaki itu mendekatiku. Aku tambah gementar bila dibiarkan sendirian begini. Tanpa kusangka, dia duduk menghadapku.

“Sayang”..Serunya perlahan. Suaranya itu seolah membelai dan memujuk jiwaku supaya melihat wajahnya.

Aku memaksa diriku untuk mengangkat muka, melihat wajahnya. Perlahan-lahan dia mencapai tangan kiriku, lalu disarungkan sebentuk cincin emas bertatahkan zamrud ke jari manisku.

“Abang”.. Seruku perlahan sambil bersalam dan mencium tangan lelaki itu yang telah sah menjadi suamiku.

“Ana serahkan diri Ana dan seluruh kehidupan Ana ke pangkuan abang. Ana harap, abang akan terima Ana seadanya ini seikhlas hati abang..”Bisikku perlahan. ” Kita akan sama-sama melayari hidup ini dan akan kita bina keluarga yang bahagia.” Janjinya padaku.

Itulah kali pertama aku menemui suamiku itu. Aku tidak pernah melihatnya selain daripada sekeping foto yang telah diberikan emak kepadaku.

Kenduri perkahwinan kami diadakan secara sederhana sahaja. Namun meriah dengan kehadiran sanak saudara terdekat dan sahabat handai yang rapat. Senang sikit, tak payah berpenat lelah. Sibuk juga aku dan suamiku melayani para tetamu yang hadir ke majlis itu.

Ramai juga teman-teman suamiku yang datang. Mereka mengucapkan tahniah buat kami berdua. Tak sangka, suamiku punyai ramai kawan. Katanya, kawan-kawan sejak dari universiti lagi.

Pada pandanganku, suamiku itu memang seorang yang segak. Berbaju melayu putih sepasang serta bersampin. Aku juga memakai baju pengantin putih. Kami dah berpakat begitu.

Aku selalu berdoa pada Tuhan agar Dia kurniakan padaku seorang suami yang dapat membimbing dan menunjukkan aku jalan ketuhanan. Mengasihi aku sebagai seorang isteri. Tidak kuminta harta mahupun pangkat, cukuplah sekadar aku bahagia bersamanya dan dia juga bahagia denganku. Aku juga sering berdoa agar dikurniakan zuriat yang dapat membahagiakan kami.

“Ana, ada perkara penting yang mak dan ayah nak bincangkan dengan Ana”.Ayah memulakan mukadimah bicaranya di suatu petang sewaktu kami minum petang di halaman rumah. Mak hanya diam memerhatikan aku, membiarkan ayah yang memulkan bicaranya.

“Apa dia ayah, mak? Macam penting je” Soalku tanpa menaruh sebarang syak wasangka.

“Sebenarnya, kami telah menerima satu pinangan bagi pihak Ana.”

“Apa!!!”Pengkhabaran begitu membuatkan aku benar-benar terkejut. Aku masih belum berfikir untuk mendirikan rumah tangga dalam usia begini. Aku mahu mengejar cita-citaku terlebih dahulu. Aku tidak mahu terikat dengan sebarang tanggungjawab sebagai seorang isteri.

“Kenapa ayah dan mak tak bincang dengan Ana dulu?” Soalku agak kecewa dengan keputusan mak dan ayah yang membelakangi aku. Sepatutnya mereka berbincang denganku terlebih dulu sebelum membuat sebarang keputusan yang bakal mencorakkan masa depanku.

“Kami tahu apa jawapan yang akan Ana berikan sekiranya kami membincangkan perkara ini dengan Ana. Pastinya Ana akan mengatakan bahawa Ana masih belum bersedia. Sampai bilakah Ana akan berterusan begitu?”Ayah mengemukakan alasannya bertindak demikian.

“Sebagai orang tua, kami amat berharap agar anak kesayangan kami akan mendapat seorang suami yang boleh melindungi dan membimbing Ana. “Ujar mak setelah sekian lama membisu.

“Apakah Ana fikir mak dan ayah akan duduk senang melihat anak gadisnya berterusan hidup sendirian tanpa penjagaan dari seorang suami? Kami bukan nak lepaskan tanggungjawab kami sebagai orang tua, tapi itulah tanggungjawab orang tua mencarikan seorang suami yang baik untuk anak gadisnya.”Terang ayah lagi.

“Ana..” Seru ayah setelah dia melihat aku mendiamkan diri, menahan rasa.

“Percayalah, kami membuat keputusan ini adalah untuk kebaikan Ana sebab kami terlalu sayangkan Ana.”;

“Ini cincinnya, pakailah.” Mak meletakkan satu kotak kecil berbaldu di hadapanku. Perasaanku berbaur. Macam-macam yang datang. Berbelah bagi. Apa yang patut aku lakukan sekarang. Sekiranya aku menerima dan bersetuju dengan keputusan mak dan ayah itu, bermakna aku telah membiarkan cita-citaku semakin kabur dan berbalam di hadapan. Namun kiranya aku menolak, bermakna aku telah melukakan hati kedua-dua orang tuaku itu. Orang tua yang telah banyak berjasa dalam hidupku. Tanpa mereka berdua, aku takkan hadir dan mustahil untuk melihat dunia ini.

“Ahhhhgggg…”Keluhku sendirian. Aku dalam dilemma. Yang manakah patut aku utamakan? Perasaan sendiri atau perasaan dan harapan mak dan ayah. Aku selalu tewas bila melibatkan perasaan mak dan ayah. Aku terlalu takut untuk melukakan hati mereka. Aku takut hidupku nanti tidak diberkati Tuhan.

Azan maghrib yang berkumandang mengejutkan aku dari lamunan. Dah masuk waktu maghrib rupanya. Masih banyak lagi barang-barang yang belum dikemaskan. Penat juga nak kemaskan semua ni.

“Nanti kite kemas lepas ni. Mari solat maghrib dulu.” Ujar ayah padaku.

Adik-adik sibuk bentangkan tikar dan sejadah di ruang solat. Begitulah selalunya apabila kami berkumpul. Solat berjemaah adalah saru agenda yang tidak boleh dilupakan.

Semua orang telah siap sedia menunggu sewaktu aku keluar dari berwudhuk di bilik air. Aku cepat-cepat mengenakan telekung dan memasuki saf bersama emak, kakak dan adik.

Selesai je iqamah, ayah memberikan penghormatan kepada suamiku untuk menjadi imam. Dia kelihatan serba salah dengan permintaan ayah itu. Dia merenung ke arahku. Aku hanya mengangguk sebagai isyarat supaya dia memenuhi permintaan ayah itu. Maka dengan tenang, dia mengangkat takbir. Menjadi imam solat maghrib kami pada malam itu.

Betapa hatiku tenang sekali menjadi makmumnya. Dengan bacaan yang jelas dan merdu itu membuatkan aku berasa kagum dengan suamiku itu. Mungkin tepat pilihan ayah dan mak buatku. Bacaannya lancar lagi fasih. Bagaikan seorang arab yang menjadi imam.

“Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau mengirakan kami salah jika kami terlupa atau tersilap. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kami dengan bebanan yang berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Jangan Engkau pikulkan kepada kami apa-apa yang tidak terdaya kami memikulnya. Dan maafkanlah kesalahan kami serta ampunkanlah dosa kami dan berilah rahmat kepada kami.”

“Wahai Tuhan kami! Kurniakanlah kami daripada isteri dan suami serta zuriat keturunan yang boleh menjadi cahaya mata buat kami dan jadikanlah kami daripada golongan orang-orang yang muttaqin.”

Dia membaca doa dengan khusyuk memohon kepada Tuhan setelah selesai solat. Kami bersalaman. aku mendekati suamiku sambil menghulurkan tangan.

“Bang, maafkan Ana!” Bisikku perlahan sewaktu mencium tangannya. Dia kemudiannya mengucupi dahiku sebagai tanda kasih yang tulus.

“Sayang tak ada apa-apa salah dengan abang.”Ujarnya sambil tersenyum merenung wajahku.

Selepas berwirid dan berzikir, dia bangun menuju ke halaman rumah.

“Abang nak ke mana tu?”Soalku.

“Nak kemaskan barang-barang kat bawah tu. Ada sikit lagi.”Jawabnya.

“Dah la tu. Rehat jelah. Esok kita boleh sambung lagi.”Aku kesian melihatnya, keletihan.

“Betul kata Ana tu Zul. Sambung esok sajalah.” Sampuk ayah yang tiba-tiba mendengar perbualan kami. Emak pun mengangguk menyetujui sarananku itu.

“Takpelah ayah, Ana. Sikit aje tu. Kejap je saya buatnya.” Dia masih berkeras sambil berlalu turun ke halaman rumah untuk mengemas beberapa peralatan yang masih lagi berada di bawah khemah.

Aku menukar pakaian, kemudian keluar membantu suamiku mengemas barang-barang di halaman rumah. Dia kelihatan asyik tanpa menyedari kehadiranku. Semua barang-barang telah dikemasnya. Aku mencapai kain pengelap dan mula mengelap meja.

“Bila Ana turun?” Soalnya apabila menyedari aku sedang mengelap meja.

” Baru aje. Asyik sangat abang buat kerja sampai tak sedar Ana datang.”

“Maafkan abang sayang.” Dia menghampiriku.

“Sayang tak marahkan?” Soalnya lagi sambil memeluk pinggangku erat.

Aku merenungnya, kemudian mengeleng-ngeleng sebagai tanda aku tak ambil hati pun pasal tu. Dia tersenyum sambil menghadiahkan satu ciuman di pipiku.

“Ish..abang ni! Nanti dilihat orang, malu kita.” Rungkutku tersipu-sipu. Nanti malu juga kalau dilihat oleh ahli keluargaku.

“Apa nak malu, kan sayang ni isteri abang.”Jawabnya tersenyum.

“Tau la, tapi tengok la keadaan dan tempat. Kalau kita berdua saja, lebih dari cium pun Ana bagi.”

“Betul ni?”Soal suamiku cepat-cepat.

“Ish..;gatal la abang ni!” Dia cuba mengelak dari menjadi mangsa cubitan tanganku.

Aku terasa bahagia disayangi begini. Inilah pertama kali dalam hidupku merasai betapa nikmatnya cinta dan kasih sayang seorang kekasih hati yang aku sayangi. Aku tidak pernah terlibat dengan cinta walaupun semasa aku di universiti dulu. Dan pada tika ini, aku akan menikmatinya selepas perkahwinan. Cinta seorang suami terhadap seorang isteri.

Walaupun begitu,masih ada sedikit rasa takut di hatiku. Aku takut aku tidak mampu untuk menunaikan tanggungjawab sebagai seorang isteri. Aku takut aku tidak mampu untuk menjadi seorang isteri yang solehah dan mulia dalam hidup suamiku.

“Apa yang Ana menungkan ni?”Soalan itu mengejutkan aku dari lamunan. Aku berehat sekejap di atas kerusi batu dalam taman di halaman rumah setelah selesai mengemas barang-barang.

“Abang ni, terkejut Ana tau!” Aku buat-buat merajuk. Saja nak menduga bagaimana suamiku memujuk.

“Alaa..sayang ni..macam tu pun nak marah.” Usiknya sambil mencubit pipiku.

“Nampak gayanya terpaksalah abang tidur bawah katil dengan nyamuk-nyamuk malam ni sebab isteri abang dah merajuk. Kesian kat abang yea!” Aku mula tersenyum dengan kata-kata suamiku itu. Pandai juga suamiku buat lawak nak memujuk aku.

“Sayang…” Seru suamiku sambil merangkul tubuhku.

“Sayang nak honeymoon kemana?” Tak terfikir pulak akau pasal honeymoon tu. Aku pun tak ada apa-apa plan atau cadangan pasal tu.

“Ana ikut aje ke mana abang nak bawa.”

“Kalau abang bawa ke bulan atau bintang, sayang nak ikut ke?” Guraunya.

“Banyak ke duit abang nak bayar tambang roket dan nak beli set bajunya nanti?” Soalanku itu membuatkan suamiku pecah ketawa.

“Nanti sayang nak berapa orang anak?” Soalnya lagi setelah ketawanya reda.

“Abang nak berapa?” Soalku kembali tanpa menjawab soalannya.

“Abang nak sebanyak mungkin. Larat ke sayang nanti?”

“Ish…abang ni. Abang ingat Ana ni kilang anak ke?” Sekali lagi suamiku ketawa. Nampaknya dia adalah orang yang mudah ketawa.

“Takdelah macam tu. Tapi abang suka kalau kita ada anak yang ramai. Sama banyak lelaki dan perempuan.”

“Insya Allah, kalau ada rezeki nanti Ana sanggup.” Penjelesanku itu membuatkan suamiku tersenyum gembira.

“Ni yang buat abang tambah sayang ni.” Satu lagi kucupan mesra singgah di pipiku.

Aku terasa bahagia diperlakukan begitu. Aku punyai suami yang baik dan penyayang. Aku rasa dilindungi.

“Zul, Ana! Jom kita makan dulu!” Suara mak memanggil.

“Mari bang! Ana pun dah lapar ni.” Ajakku sambil memimpin tangannya. Kami bangun beriringan masuk ke dalam rumah untuk menghadapi hidangan makan malam.

Rasa lapar la juga kerana sejak tadi lagi asyik layan tetamu dan buat kerja aje sampai lupa untuk makan. Seronok sangat dengan kahadiran kawan-kawan rapat serta gembira dianugerahi seorang suami yang baik.

Sudah beberapa hari aku asyik memikirkan pasal pertunanganku. Terlalu sukar untuk aku menerimanya. Tambah lagi dengan lelaki yang tidak pernah kukenali. Perkahwinan bukanlah sesuatu yang boleh diambil mudah. Kehidupan yang memerlukan persefahaman sepanjang hidup. Tanpa persefahaman dan tolak ansur, mustahil dua jiwa dan dua hati boleh bersatu dalam menjalani hidup sebagai suami isteri. Tidak sedikit cerita yang aku dengar tentang rumah tangga yang hanya mampu betahan buat seketika atau separuh jalan sahaja. Kemudian pecah berkecai umpama kapal dipukul badai. Berselerak dan bertaburan. Apataha lagi kalau dah dikurniakan anak. Anak-anak akan jadi mangsa keadaan.

“Mampukah aku menerima suamiku nanti sepenuh hatiku? Mampukah aku menyediakan seluruh ruang isi hatiku ini buat suamiku itu? Bahagiakah aku bila bersamanya nanti?” Bertalu-talu persoalan demi persoalan menerjah benak fikiranku. Aku rasa amat tertekan dengan keadaan ini. Bukan aku tak fakir pasal rumah tangga, tapi aku masih belum bersedia untuk melaluinya.

“Ya Allah, bantulah aku dalam membuat keputusan. Tunjukkanlah aku jalan penyelesaian. Janganlah Engkau biarkan aku sendirian dalam menentukan masa depan hidupku.”

“Ya Allah, aku benar-benar tersepit antara kehendak orang tuaku dan persaan hatiku sendiri. Kiranya ia baik buatku, maka berilah aku redha dalam menerimanya wahai Tuhan.

Indahnya kuperhatikan suasana kamarku. Aku sendiri yang menghiasinya. Kamar malam pertamaku bersama seorang lelaki yang bergelar suami. Kamar yang akan menjadi saksi bisu bila mana aku menyerahkan khidmatku pada seorang suami. Kegusaran dan sedikit gentar mula bertandang dalam sanubari. Aku rasa takut sendirian untuk melalui keindahan malam pertama ini. Bagaimanakah akan melayani suamiku nanti?

Ketukan pada pintu bilik membuatkan hatiku bertambah gusar. Dari tadi lagi aku hanya duduk di birai katil.

“Masuklah, pintu tak berkunci.” Aku bersuara perlahan. Aku pasti, itu adalah suamiku.

Dia masuk, kemudian menutup pintu bilik kami dengan perlahan. Dia kemudiannya menghampiri dan duduk di sisiku.

” Kenapa asyik termenung aje ni? Sayang tak gembirakah bersama abang?” Aku tak menyangka soalan itu yang diajukan oleh suamiku tatkala ketakutan di malam pertama begitu membanjiri jiwaku.

Aku hanya mampu mengeleng-ngeleng. Aku sendiri tak tahu apa jawapan yang terlebih baik untuk soalan suamiku itu.

“Habis tu apa yang sayang menungkan ni?”

Ana takut bang!” Itulah aku rasa jawapan yang tepat bagi menjawab soalannya.

Dia memelukku erat sambil membelai rambutku.

” Apa yang nak ditakutkan? Abangkan ada. Abang akan bantu dan tolong sayang. Kita sama-sama bina keluarga kita.” Pujuk suamiku.

” Ana takut Ana tak mampu untuk menjalankan tugas sebagai isteri abang. Ana banyak kelemahan bang. Ana takut nanti Ana akan mengecewakan abang. Ana takut..” Aku tidak sempat untuk meneruskan kata-kataku kerana suamiku telah meletakkan telunjuknya di bibirku tanda tidak membenarkan aku menghabiskan bicaraku. Terkebil-kebil mataku memandangnya.

” Sayang, abang terima sayang sebagai isteri abang seadanya. Abang terima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada sayang. Usahlah sayang risaukan pasal itu. Ok sayang! ” Bisiknya.

Aku memeluknya syahdu di atas penerimaannya terhadapku.

” Sayang, abang nak mandi kejap. Badan ni dah rasa macam melekit.” Aku bangun membuka almari pakaian dan mencapai sehelai tuala serta kain pelikat. Kuhulurkan kepadanya dengan penuh kasih sayang.

Dia tersenyum kepadaku dan mencium pipiku sebelum berlalu ke bilik air. Kemudian aku terdengar siraman air terjun ke lantai.

Malam berarak perlahan. Langit kelihatan gelap pekat tanpa bulan dan bintang. Mungkin sekejap lagi hujan akan mencurah, membasahi bumi yang sudah beberapa hari merindui titis air untuk membajai ketandusannya.

“Ayah, mak! Ana dah buat keputusan.” Beritahuku sewaktu kami sedang berehat di beranda rumah pada suatu hari.

Ayah yang sedang membaca akhbar dan emak yang sedang menyulam tiba-tiba memandangku serentak, kemudian berpaling sesama sendiri.

” Keputusan tentang apa?” Soal ayah inginkan kepastian. Mungkin mereka tertanya-tanya keputusan apakah yang telah kubuat.

” Pasal peminangan tu.” Ujarku.

Ayah dan emak kembali merenungku. Mereka memberikan perhatian kepada apa yang bakal aku beritahu. Keputusan yang telah kubuat setelah berfikir baik dan buruknya. Keputusan yang bakal menentukan masa depan arah perjalanan hidupku.

” Kiranya ini takdir Tuhan, maka Ana redha dengan jodoh yang ayah dan emak pilih.” Terasa pilu sekali hatiku sewaktu meluahkannya. Ada sedikit titis jernih jatuh ke riba. Aku mengesatnya dengan hujung jari.

Emak bangun dan memelukku. Aku tidak tahu apakah ertinya pelukan emak itu. Pelukan gembira oleh kerana aku menerima pilihan mereka atau pelukan untuk menenangkan jiwaku yang sedang berkecamuk dan sedih ini? Hanya emak yang tahu hakikatnya.

” Syukurlah, moga Ana bahagia nanti.” Ucap ayah padaku.

Aku terpaksa berkorban demi untuk melihat senyuman di bibir ayah dan emak walaupun hatiku sendiri terpaksa menangis. Tapi adalah terlebih baik bagiku memakan hatiku sendiri daripada memakan hati orang tua ku.

“Nanti mak kenalkan dia pada Ana.” Ujar emak sambil tersenyum kerana keputusanku memihak kepada mereka.

” Tak payahlah mak. Kenalkan pada Ana di hari perkahwinan tu aje.” Aku rasa lebih baik demikian kerana selepas ijab Kabul aku sudah tidak punyai pilihan lain selain daripada menerima walaupun dengan terpaksa lelaki pilihan ayah dan emak ku itu sebagai suamiku. Aku tidak mahu pertemuan sebelum ijab kabul nanti akan menyebabkan aku berbelah bagi dengan keputusan yang telah aku buat.

” Kenapa pula macam tu? Kan lebih baik kalau Ana berkenalan dahulu dengannya.” Ayah mempersoalkan keputusanku itu.

” Ana telah memenuhi kehendak ayah dan mak dengan menerima pilihan ayah dan mak. Tak bolehkah ayah dan mak memenuhi permintaan dan kehendak Ana pula?” Aku berlalu meninggalkan mereka dalam keadaan tercengang dengan permintaan ku itu.

Aku siapkan kamar tidur seadanya. Aku letakkan pakaian persalinan buat suamiku di atas katil. Aku menunggunya keluar dari bilik air. Aku sendiri telah bersiap-siap menukar pakaian malam menanti suamiku itu dengan penuh debaran. Kedengaran pintu bilik air dibuka. Dia keluar sambil tersenyum ke arahku.

” Sayang, boleh tak ambilkan abang segelas air. Dahagalah.” Pintanya sambil mengelap-ngelap badannya dengan tuala di tangan.

” Baik bang. Bang, ni baju abang.” Ujarku sambil bangun untuk ke dapur.

Sewaktu aku keluar, lampu di ruang tamu semuanya telah dipadamkan. Kulihat jam dah dekat pukul 1 pagi.

” Patutlah.” Bisik hatiku. Aku meneruskan langkahku ke dapur dalam smar-samar cahaya bilik yang masih lagi terpasang.

Kupenuhkan labu sayung dengan air masak dan ku capai sebiji gelas. Aku membawa kedua-duanya menuju ke bilik.

Suasana malam agak sunyi. Tiada bunyi cengkerik atau cacing tanah. Cuma kat luar sana kadang-kadang langit kelihatan cerah diterangi cahaya kilat memancar. Malam yang pekat bakal mencurahkan hujan.

Sewaktu aku melangkah masuk ke bilik, kelihatan suamiku sedang khusyuk berdoa atas sejadah. Mulutnya terkumat kamit tanpa kutahu butir bicaranya.

Kutuangkan air kedalam gelas dan kuletakkan atas meja menanti suamiku selesai berdoa. Kemudian dia bangun menghampiriku. Aku menghulurkan gelas air kepadanya.

“Bang….”Seruku.

“Ada apa sayang?” Soalnya apabila melihat aku tersipu-sipu kearahnya.

“Malam ni abang nak…..nak…..”Agak segan untuk kuteruskan pertanyaan itu. Suamiku masih lagi menanti persoalan yang kutanya… ” Nak apa sayang?” Soalnya lagi sambil tersenyum.

“Ah..abang ni…”Aku malu sendirian apabila melihat suamiku seolah-olah dapat membaca fikiranku.

“Ya, abang nak sayang layan abang malam ni. Boleh tak?” Bisiknya ketelingaku.

Aku hanya mampu mengangguk-angguk tanda bersedia untuk melayani segala kehendak dan kemahuannya. Aku cuba untuk mempersiapkan diri sebagai seorang isteri yang mampu menyediakan dan memenuhi segala keperluan dan kemahuan suamiku itu.

“Assalamualaikum, wahai pintu rahmat!” Bisik suamiku.

” Waalaikumussalam wahai tuan pemilik yang mulia.” Jawabku.

Malam yang gelap kehitaman itu kulaluinya bertemankan seorang lelaki yang telah kuserahkan kepadanya seluruh jiwa dan ragaku ke dalam tangannya. Dia berhak segala-galanya keatasku. Sebagai seorang isteri, aku mesti sentiasa patuh kepada segala arahan dan suruhannya selagi mana ia tidak bercanggah dengan ketetapan Tuhan dan Rasul.

Pertama kali kulalui dalam hidupku, malam bersama seorang lelaki yang telah dihalalkan aku keatasnya. Aku umpama ladang dan suamiku itu adalah peladang. Ia berhak mendatangiku mengikut sekehendak hatinya. Aku telah membaca beberapa buah buku tentang alam perkahwinan, rumahtangga dan tanggungjawab seorang isteri apabila aku menerima pilihan emak dan abah terhadapku. Aku cuba untuk mempraktikkannya selagi aku termampu untuk melakukannya. Aku cuba menjadi yang terbaik bagi suamiku. Aku ingin suamiku bahagia bersamaku. Aku ingin menjadi permaisuri yang bertahta di hati dan jiwanya sepanjang usia hayatnya.

Rasulullah bersabda:

“Sebaik-baik isteri itu ialah yang dapat menenangkan kamu apabila kamu melihatnya dan taat kepada kamu apabila kamu perintah dan memelihara dirinya dan menjaga hartamu apabila kamu tiada.”

Rasulullah bersabda:

“Setiap wanita itu adalah pengurus sebuah rumahtangga suaminya dan akan ditanyakan hal urusan itu.”

Rasulullah bersabda:

“Isteri yang mulia ini merupakan sesuatu yang terbaik di antara segala yang bermanfaat di dunia.”

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya wanita yang baik itu adalah wanita yang beranak, besar cintanya, pemegang rahsia, berjiwa kesatria terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri terhadap lelaki lain, taat kepada ucapan suaminya dan perintahnya, dan apabila bersendirian dengan suaminya, dia pasrahkan dirinya kepada kehendak suaminya itu.”

Sesungguhnya perkahwinan ataupun rumahtangga itu bukanlah sesuatu yang boleh dipandang remeh atau yang boleh dipermain-mainkan. Ia adalah suatu ikatan yang menghalalkan yang haram sebelumnya. Ia memerlukan persefahaman, tolak ansur, saling mempercayai, tolong menolong, kasih mengasihi seikhlas hati dan sebagainya. Tanpa itu semua, mana bisa dua jiwa yang berlainan sifat dan sikap mampu mengharungi sebuah kehidupan yang penuh dengan dugaan ini bersama-sama. Ia amat mustahil sekali.

Maka seharusnya kita perlu mempersiapkan diri sebelum memasuki gerbang perkahwinan dengan pelbagai ilmu. Ilmu kekeluargaan, ilmu keibu bapaan, psikologi kanak-kanak dan sebagainya. Jangan cuba untuk menghampirinya selagi mana kita belum benar-benar bersedia untuk menghadapinya. Jangan kita fikirkan tentang nafsu semata-mata. Fikirkan sama tentang tanggungjawab yang bakal kita pikul nanti. Tanggungjawab sebagai seorang suami ataupun isteri, tanggungjawab sebagai seorang bapa ataupun ibu. Mampukah kita semua memenuhi atau menunaikan tanggungjawab dan tuntutan itu. Kita pastinya akan dipersoalkan tentang pertanggungjawaban itu. Sama ada di dunia mahaupun di hadapan Tuhan nanti. Kerana tanggungjawab itu adalah amanah yang perlu ditunaikan oleh setiap orang.

Bunyi batuk yang berlarutan menyebabkan aku tersedar dari tidur istimewaku malam ini. Sewaktu aku membuka mata, aku lihat suamiku sedang bersimpuh diatas sejadah. Dia mengurut-urut dadanya menahan batuk. Aku bingkas bangun, turun dari katil dan menghampirinya.

“Abang tak apa-apa?” Soalku risau dengan keadaannya. Aku mula risau, takut-takut suamiku itu mempunyai penyakit-penyakit tertentu yang tidak aku ketahui.

“Abang ok je. Mungkin sejuk sikit kot.”Jelasnya. Mungkin juga. Hawa dinihari itu sejuk sebab hujan masih lagi bergerimis selepas mencurah lebat semalam.

“Pergilah mandi, ayah dan semua orang sedang menunggu kita untuk berjemaah di luar tu.” Arah suamiku sambil tersenyum merenungku dengan pijama itu. Aku malu sendirian bila mata suamiku menyorot memerhati seluruh tubuhku itu.

“Nakallah abang ni.” Aku bangun mencapai tuala dan terus ke bilik air untuk mandi. Aku masih lagi terdengar batuk-batuk dari luar.

Ayah mahu suamiku mengimami solat subuh itu, tapi suamiku menolak dengan alasan dia batuk-batuk dan tak berapa sihat. Namun ayah masih berkeras, maka terpaksalah dia menjadi imam.

Kesian aku melihatnya. Bacaannya tidak selancar semalam. Banyak tersangkut dan terpaksa berhenti atau mengulanginya kerana asyik batuk-batuk sahaja. Aku mula risau lagi dengan keadaan begitu.

Selepas beriwirid pendek, dia membacakan doa dengan perlahan tapi masih boleh didengari oleh semua ahli keluargaku. Aku lihat muka suamiku agak kepucatan.

“Kenapa ni bang?” Soalku sewaktu bersalaman dengannya.

” Entahlah, abang rasa kurang sihat sikit pagi ni..”

“Zul sakit ke?” Tanya ayah.

“Takdelah, cuma kurang sihat sikit. Mungkin sebab cuaca kot.”Jawabnya.

“Elok makan ubat, nanti takut melarat pulak.” Sampuk mak.

“Nanti Ana ambilkan ubat.” Aku bangun ke dapur untuk mengambil ubat dalam rak ubat.

Ubat-ubatan asas sentiasa tersimpan dalm rak ubat di rumahku. Ini bagi memudahkan bagi tujuan rawatan segera kalau ada apa-apa berlaku. Aku ambil sebotol ubat batuk dan segelas air.

Suamiku sudah masuk ke bilik. Batuknya agak berkurangan sedikit dari tadi. Mungkin betul juga ia ada kaitan dengan keadaan cuaca yang sejuk. Dia menghirup sirap batuk yang kusuapkan.

“Terima kasih.” Ucapnya perlahan. Aku angguk.

“Abang berehatlah.” Ujarku sambil membaringkan badannya ke atas tilam.

“Abang minta maaf kerana menyusahkan sayang.”

” Kenapa pula abang cakap macam tu. Sikit pun Ana tak rasa susah.”

“Abang tahu sayang susah hati tengok abang begini. Sepatutnya hari pertama begini, abang kena membahagiakan sayang. Tapi abang minta maaf sebab keadaan abang tak mengizinkan.”

“Dahla tu bang. Ana isteri abang. Ana sentiasa bersedia berkhidmat untuk abang tanpa sedikit pun rasa susah.”Pujukku walaupun sebenarnya hatiku memang runsing dengan keadaannya.

“Walau apapun yang berlaku, abang tetap sayang dan cintakan saying. Sayanglah satu-satunya buah hati abang.” Sambung suamiku tanpa menghiraukan nasihatku supaya dia berehat saja.

Entah kenapa tiba-tiba sahaja hatiku dilanda kesedihan. Entah darimana ia berputik.

“Abang minta maaf atas segalanya. Sayang maafkan abang yea”

“Abang nak tidur dulu. Mengantuk rasanya.” Ujarnya perlahan.

“Abang tidurlah.” Aku menarik selimut untuk menyelimutinya. Aku menciumi dahinya. Sekejap sahaja dia terlena selepas mulutnya terkumat kamit membacakan sesuatu.

Aku memerhatikan suamiku buat seketika. Tidurnya kelihatan tenang dengan susunan nafas yang teratur. Aku suka melihat wajahnya yang memberikan ketenangan buatku. Wajahnya yang agak bersih dihiasi dengan kumis dan jambang yang nipis dan terjaga. Aku berdoa dan berharap agar kurniaan Tuhan ini akan berkekalan bersamaku hingga ke akhir hayat.

Namun segala-galanya telah ditentukan Tuhan. Hidup, mati, rezeki, baik dan buruk seseorang hamba itu telah ditentukan Tuhan semenjak ia berada dalam kandungan ibunya lagi. Maka aku sebagai seorang hamba yang lemah terpaksa menerima segala kehendaknya dengan redha dan tenang. Siapa tahu, rupa-rupanya itulah hari pertama dan terakhir aku bersama suamiku yang baru aku kenali itu. Aku hanya mengenalinya seketika sahaja, namun dia telah meninggalkan aku buat selama-lamanya. Aku belum sempat untuk menjalankan tugasan sebagai isteri dengan sepenuhnya. Apalagi yang dapat aku lakukan.



Patutlah dia asyik memohon maaf dariku.

Sewaktu aku ingin mengejutkannya untuk bersarapan, berkali-kali aku cuba memanggil namanya. Namun dia masih tak menjawab. Aku menggoncang tubuhnya, tetapi tetap tak ada respon. Aku sentuh tangannya, sejuk. Aku memeriksa nadi dan denyutan jantungnya. Senyap! Air mataku terus je mengalir tanpa dapat ditahan lagi. Menangisi kepergian seorang suami. Aku tersedu-sedu sewaktu semua ahli keluarga masuk kebilik untuk melihat apa yang berlaku setelah terlalu lama aku cuba mengejutkan suamiku itu. Tapi rupanya hanyalah jasad yang terbujur kaku.

” Sudahlah Ana, bersyukurlah kerana masih ada lagi pusaka tinggalannya buat Ana.” Pujuk emak.

Aku hanya mampu tersenyum dengan pujukan emak itu sambil memandang wajah seorang bayi lelaki yang sedang nyenyak tidur disebelahku. Itulah takdir Tuhan, malam pertama yang telah membuahkan hasil. Walaupun hanya pertama, tapi itulah panglima yang menang dalam pertarungan bagi menduduki rahimku ini. Hari ini, zuriat suamiku itu telah menjenguk dunia ini. Satu-satunya pusaka yang tidak ada nilai buatku selain sebuah rumah yang telah diwasiatkan oleh suamiku buatku.

Ya Allah, tempatkanlah rohnya bersama golongan yang soleh. Ya Allah, rahmatilah anakku ini. Jadikanlah dia umpama bapanya yang sentiasa taat kepadamu. Jadikanlah ia berjasa kepada perjuangan dalam menegakkan agamamu. Jadikanlah ia sebagai permata yang membahagiakan aku dan seluruh keluargaku.

Amin..