�Hai orang yang beriman! Jauhilah terlalu banyak sangka menyangka. Sungguh, sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah saling memata-matai, dan janganlah saling memfitnah�.�
- Q.S. 49 Al Hujurat (Bilik-bilik) Ayat 12 -
Si monumentum requiris, circum spice!
Bagi saya yang yakin dengan kedahsyatan IQ rendah yang diberikan Allah swt kepada saya untuk memahami al-Islam sebagai dien, huda dan rahmat, alhamdulillah saya dapat merasakan keagungan al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai penyejuk hati dan pencerah bathin sekaligus penawar hati dan emosi. Dengan kata lain, IQ-rendah yang saya miliki bagi saya memiliki kedudukan yang sangat vital. Saya tidak akan menafikan nikmat Allah yang sangat besar ini. Beberapa waktu yang lalu saya mendengar berita yang membuat saya sedih hingga kini: seorang bapak terisak-isak di depan pewawancara liputan6 SCTV. Sang suami itu ngilu karena hingga beberapa waktu lamanya sang isteri yang baru saja melahirkan anak kedua didera kelumpuhan otak. Dia tak bisa lagi bersenda gurau dengan suami, merawat buah hati tercintanya, bahkan untuk mengganti popok dirinya sendiri ia sudah tak mampu. Sang isteri hanya bisa meraung-raung bagai harimau, atau �bahkan lebih rendah dari binatang� kata sang narator Liputan6.
Jika anda ingin bersyukur dengan anugerah otak yang diberikan Allah, lihat hikmah dibalik peristiwa yang masih aktual hingga kini. Berkaitan dengan otak manusia, peristiwa demi peristiwa terus terjadi seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi dan industri kedokteran. Barangkali sumbangsih cerita tersebut dapat menggugah emosi dan spiritual kita, bahwa ada �sesuatu� di balik keperkasaan yang kita banggakan sekarang ini.
Kawan-kawan, sungguh, dengan perasaan yang tulus ikhlas, saya sangat mensyukuri IQ rendah yang saya miliki sekarang.
Saat itu sang perawat dan dokter serta ahli medis yang sengaja didatangkan dari luar kota itu tak mampu �memperbaiki� kerusakan memori di otak sang pasien. Bagi sang suami, ini adalah kelam; kegelapan membumbung dalam kekelaman hatinya. Hanya nestapa, dan tak mampu berbuat apa-apa. Kalaupun ia sanggup untuk mendatangkan spesialis otak dari Jerman yang kesohor itu, apakah ia yakin kebahagiaan kedua sejoli itu dapat dikembalikan? Ingat, si cantik yang manja itu kini �lebih rendah dari binatang�.
Sementara saya, anda, atau manusia di belahan dunia mana saja yang tidak mampu menciptakan seekor �coro�-pun(!), sudah berani mencerca makhluk ciptaan Allah yang bernama otak atau Intelegensia Quotient yang tak terperikan harganya itu.
Firaun juga cerdas, ber-IQ tinggi, dan piawai menghimpun massa. Si Faraoh (alias Firaun) itu lantas berubah polah menjadi diktator, super-otoriter, megalomania, arogan, egois bahkan mengaku digdaya hingga ditenggelam-kan Tuhan di Terusan Suez, hanya dalam sekejap mata!
Kini, keluarga Ramsis II itu terbaring kaku di museum dengan tulang berbalutkan kulit doang. Maha benar Allah, manusia model gini musti diabadikan, biar menjadi pelajaran bagi generasi sekarang dan masa datang. (Lihat: QS. Yunus:92).
Karena itu, mari kita sama-sama renungkan pepatah di atas, if you seek a monument, look about you!
Untuk Anda yang ber-IQ atau ber-emosi tinggi
Alhamdulillah sekarang saya menyadari bahwa IQ saya rendah, bahkan ketika kedua orang tua dan semua dokter tak pernah tahu menahu tentang hal ini. Ketika saya sholat lima waktu, tahajjud atau istikharah, Tuhan pun tak pernah menunjukkan perkara penting ini. Namun anehnya ada saja manusia yang sekali-kali hanya �bertemu� di alam maya, mampu mendeteksi kekurangan saya. Sungguh ajaib, melebihi buraq yang terbang bersama Muhammad di langit semesta, membantu �sang tuan� menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia tentang tamsil-tamsil neraka-sorga!
Sungguh, saya baru tahu sekarang.
Kendati begitu: saya tetap bersyukur, karena IQ juga bukan segala-galanya. Tuhan masih memberi peluang lain kepada saya agar tidak hanya �berfikir�. Sebab, jika itu yang anda perhitungkan, maka tunggulah nanti saat kecerdasan emosi anda menurun. Apakah anda berfikir bahwa setiap kali skor kecerdasan otak naik, maka kecerdasan emosi juga naik? Apakah ada SATU penelitian (saja) yang bisa meyakinkan saya bahwa tiap kali kecerdasan otak anda di atas rata-rata, maka kecerdasan spiritual anda juga mencapai puncak?
Mohon maaf, karena saya ber-IQ rendah tentu saya tak bisa menjawab pertanyaan di atas, apalagi menjamin kebenaran asumsi saya ini. Karenanya, silakan bagi anda yang ber-IQ tinggi untuk membaca satu halaman saja dari karangannya �akang� Daniel Goleman, dalam Working with Emotional Intelligence. Buku yang diterbitkan Bantam Books (New York) itu sempat �in� di tahun 1999.
Kata �mas� Daniel itu, tahun 1918 di Amerika Serikat diadakan suatu survery besar-besaran tentang IQ. Kesimpulannya sungguh mengenaskan: sementara skor IQ seseorang tinggi, kecerdasan emosi mereka justeru cenderung turun. Sebuah paradoks yang sangat membahayakan, sekaligus juga mengkhawatirkan. Kalau mau dipukul rata-rata, orang-orang sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup, cemas, impulsif dan agresif. (Hal. 13).
Lalu apa hubungannya?
Maksud saya begini: manakah yang lebih penting, IQ (kecerdasan akal), EQ (kecerdasan emosi) atau SQ (kecerdasan spiritual)?
Menurut saya yang ber-IQ rendah, semua penting. Tentu saja tidak bagi anda yang ber-IQ tinggi. Anda atau Robbert K. Cooper, Ph.D. mungkin punya pendapat yang sama bahwa �kecerdasan emosi dan spiritual jauh lebih penting!� Mengapa? Karena �hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak atau pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayan�.
Kalau memang kecerdasan emosi dan spiritual itu tidak lebih penting dari IQ, mengapa musti ada syahadat yang menjadi pusat mission statement, membulatkan tekad, membangun visi, menciptakan wawasan, men-transformasi visi, serta komitmen total? Jika IQ lebih penting dari segalanya mengapa kita musti sholat yang mensimulasi kita untuk tetap enjoy (relaksasi), membangun pengalaman positif, serta mampu mengasah semua prinsip kehidupan kita? Jika memang IQ itu �segalanya� (menurut anda), toh mengapa Tuhan masih saja mencekoki kita dengan kewajiban puasa sebagai kendali diri nafsu hewaniah? Lantas mengapa puasa menjadi sumber peningkatan kecakapan EMOSI secara fisiologis? Mengapa tidak dengan metode lain saja? Mengapa harus ada zakat yang dapat membangun landasan koperatif dan mampu menginvestasi kepercayaan, komitmen, kredibilitas, keterbukaan, empati dan kompromi? Setelah keempat itu usai kita lakukan, mengapa harus pula ada kewajiban menunaikan ibadah haji sebagai total action kemusliman kita?
Dengan kata lain, mampukah IQ yang tinggi itu dapat mengatasi segala ketimpangan sosial tanpa ada EMOSI empati dan kompromi dengan semangat kooperatif untuk membagi anugerah limpahan karunia harta kepada orang lain? Saya hanya bertanya satu hal ini saja, plus pertanyaan di atas. Mampukah?
Marilah kita merenung sejenak, lantas bermuhasabah diri: betapa kita tak mampu berbuat apa-apa jika dihadapkan dengan ketetapan Sang Pencipta: itulah kewajiban yang musti kita lakoni, demi emosi dan spiritualitas kita. BUKAN OTAK!
Saya yang ber-IQ rendah, tidak bergelar ustadz atau kiyai, menjadi malu seandainya tulisan ini dibaca oleh orang-orang cendikia, apalagi oleh seorang profesor atau ulama yang tingkat kecerdasan spiritualnya tinggi, penuh tawadhu dan lapang dada. Sebab, meminjam istilah Robert Stenberg, �bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk�.
Hanya kepada Allah swt pemilik IQ, Emosi dan Spiritual manusia serta penggenggam alam semesta, saya yang dhaif ini berserah diri.
Kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan semata. Sungguh, dugaan tiada berguna sedikitpun melawan kebenaran. Sungguh, Allah Mengetahui segala yang mereka lakukan.
- Q.S. 10 Surah Yunus (Nabi Yunus) Ayat 36 -
No comments:
Post a Comment